Langsung ke konten utama

Postingan

Ketabahan Do'a bulan Mei

Aku berdiri di antara harapan dan kesia-siaan, sembari menggenggam kanak-kanak kecemasan. Ku terobos dinding itu, pembatas antara khayal dan nyata. Kumpulan tanya berkecamuk di kepala, membungkam denting-denting waktu yang tak pernah usai. Ku temui kamu, tersudut mendekap pilu. Dengan gemetar tangan dan, kali ini, ada yang lain dari rembulan. Dipantulkannya bayanganmu, yang tersudut mendekap tangis. Masih saja kau membuahkan senyuman di atas kesedihan. Air matamu menghapus tanya-tanya yang kau tulis di hamparan kesunyian, sebelum bisa kau jawab. Dari celah malam, aku tatap bayanganmu dengan wajah pasi, dengan gemetar tangan, yang membangunkan lelapnya burung-burung tidur. Kemudian rasa, menjelma dalam sebaris catatan kecil, di balik ketabahan do'a bulan Mei. Nyata adalah hak sang Pencipta. Manusia; merayakan cita dengan suka, ataupun luka.

Jalan Menuju Keabadian

Di suatu hari yang cerah, ada yang mengabaikan jalannya waktu. Hidup tak selalu tentang umur yang berkurang. Adalah sia-sia, bila keabadian adalah permintaan kita kepada Yang Maha Kuasa. Sepasang tangan saling menggenggam. Erat. Bukan waktu yang dia takuti. Kehilangan adalah hal terkejam, setelah kematian. Dunia melahirkan rasa takut. Bisikan mitos menelusuri jalanan kota. Dan manusia, menelan udara dari pagi yang begitu dingin. Jalan panjang terbentang. Beberapa pohon tumbuh di persimpangan. Do'a adalah jalan menuju keabadian, ucap langit menegur. Bila do'a adalah jalan menuju keabadian, izinkan mulut ini berucap di setiap malam yang panjang.

Bukankah Begitu?

Wah.. lama tak bersua. Sosial Media dan kehidupan nyata menyita waktuku belakangan ini. Dengan berbagai kesibukan lama dan baru, halaman blog  ini tak pernah ku tengok lagi. Berbagai macam pikiran mungkin harus dituangkan. Lalu sekarang, aku akan mulai kembali menuangkan pikiran pada wadah yang sudah seharusnya menampung semua pikiran ini.. Di sini-lah aku sekarang berdiri. Perlahan beranjak dari masa remaja dan sedang menjalani rutinitas sebagai budak dari perusahaan. Sejujurnya, bukan satu hal yang aku idam-idamkan. Tapi, mau dikatakan apalagi? Prinsip itu runtuh dengan sendirinya. Atau mungkin mental-ku yang tak sekuat itu. Kehidupan ini sejatinya tentang menerima apa yang memang dibekali oleh Yang Maha Kuasa. Selebihnya, tentang semua kekecewaan dan harapan yang semakin berjalan menjauh, kedua bola mata biarkan saja meneteskan tangis. Waktu tak akan menunggu untuk kita melangkah kembali. Bila datang dan pergi adalah definisi hidup, ya, saya setuju. Semakin lama kaki ini b

Tarian Hujan

Belakangan, iring-iringan hujan kerap kali mendatangi kota. Tetes demi tetes yang menghujam setiap sudut kota. Beberapa ada yang senang. Menghirup aroma tanah basah sembari meneguk teh panas di dalam secangkir gelas dengan mata terpejam. "Jangan dulu berakhir" begitu gumamnya, berbicara dengan dirinya yang lain di dalam khayal. Itu bagian kesukaannya. Larut... Sesekali, sayup-sayup gemuruh petir mengiringi tarian hujan. Langit abu-abu menjadi panggung pertunjukkan. Di tempat yang lain, beberapa orang berkumpul bersama membelakangi pertunjukkan itu. Mereka malah asik berbagi cacian. Entahlah, yang terpenting bagi mereka hanyalah suara tawa yang keluar dari celah bibir. Saat hujan semakin lama menunjukkan keelokannya, di sudut kota yang lain, ada yang menggerutu; berharap pertunjukkan ini segera berakhir. Langkahnya terhenti. Kota terasa sesak baginya, tak ada ruang baginya untuk melangkah. Sepeda motor itu tak akan bisa melaju. Dia tertegun, mencoba menikmati pertunjuk

Di Antara Hiruk-Pikuk

Di antara hiruk pikuk kendaran yang membelah jalanan ibu kota, saya menyusuri bahu jalan. Tanpa teman. Hanya ada beberapa batang rokok di saku dan seperangkat headset  yang siap menemani langkah saya. Langkah saya terhenti di jembatan penyebrangan yang umum digunakan masyarakat di sini. Sejenak, saya menengok sekitar. Terlihat jelas, sekumpulan kendaraan saling bergerombol bersama para pengemudinya untuk sampai di tujuannya masing-masing. Ya, langkah kita terpisahkan oleh tujuan masing-masing. Sebagian mungkin sudah tidak sabar menikmati hangatnya pelukan keluarga tercinta, atau mungkin juga tergesa-gesa untuk segera bersua dengan kawan-kawannya. Beberapa masih ada yang berusaha mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menyambung rantai hidup. Seperti pedagang kopi keliling di sudut sana yang masih menanti dagangannya diserbu orang-orang. Sedangkan saya. Di sini, termenung mencari-cari jati diri. Berada dalam jebakan usia. Berbekal tekad yang kuat berusaha mencari jalan untuk menopa

Seorang Lelaki Dengan Rokok Di Tangannya

Di celah bumi, seorang lelaki berjalan bersama sebatang roko di tangannya. Terjerat perangkap malam, yang selalu datang bersama dengan sunyi. Langkahnya rapuh.. namun yang dia tau hanyalah melangkah dan terus melangkah. Sesekali dia menutup telinga. Bebannya terasa kian menderu-deru. Dipikulnya dengan dua buah pundak! Sampailah lelaki tersebut di persimpangan jalan. Tatapannya kosong. Untuk sebuah senyum pun ia masih enggan. Sebentar... apa yang dia pikirkan? Belum habis pertanyaan itu, dia jatuhkan sebatang rokok yang sudah habis membakar dirinya sendiri. Diinjakan kakinya sebelum dia kemudian berlalu. Kali ini, dia berhenti di bawah pohon besar. Disandarkannya badan yang nampak terkurai lemas. Lagi-lagi, sebatang rokok singgah di tangannya, sebelum mulutnya menghisap racun di dalamnya. Kemudian.. kepalanya tengadah memperhatikan langit sana. Kali ini dia tersenyum. Hay tuan, apa enaknya tenggelam dalam khayal? Sudahlah, rebahkan tangguhmu. Malam terlalu kejam untuk kau la

Segelas Kopi Pertama

Segelas kopi pertama di hari ini.. Hari masih terlalu dini untuk dilalui oleh segelintir manusia. Lihat saja, di luar sana jalanan masih bisu, menyepi menanti lampu jalanan dimatikan. Langkah-langkah tersapu debu-debu yang perlahan hilang. Kemarin malam, langit mengguyur kota; menenggelamkan tetesan duka. Semua, telah berlalu bersama waktu dan tanda tanya yang mengikuti, ataupun penyesalan di sebaliknya. Berteriak keras di dalam dinding hati, lantang namun tak ada yang mendengar. Segelintir manusia menunggu hari yang baru tiba, melepaskan rantai yang membelenggu dengan harapan yang siap mengudara. Segelas kopi pertama di hari ini terdiam di sudut ruangan. Tanpa tanda tanya, tanpa penyeselan, dia perlahan hilang.  Merelakan dirinya dibiarkan habis tak tersisa. Di sini, di ruangan ini, aku sedang sibuk merangkai mimpi. Dengan ucapan-ucapan permintaan yang perlahan keluar dari celah bibir kepada yang Maha Kuasa,  mengalun merdu di antara kesunyian yang masih saja merasa angkuh

Sore Itu...

Sore itu lebih dari hanya sejuk.... Lembar demi lembar buku saya buka. Kata demi kata saya baca. Kalimat demi kalimat saya cerna. Di ujung sore itu, akhirnya saya tutup novel tersebut. Pikiran menuntun saya untuk menikmati alam luar. Banyak yang ingin saya utarakan, semesta. Ingin rasanya berteriak lantang di antara desir pasir, ataupun dalam lantunan gemuruh ombak. Ah! gumpalan awan itu! Terlentang di baliknya menjadi salah satu pintaku pada khayal. Sedikit demi sedikit hidup terasa menikam, kejam! Cerita demi cerita menjadi dilema. Semaunya! Masih enggan bersandar damai? Mungkin? Semakin lama, semakin jelas hidup menampakkan dirinya. Kemudian saya tertegun, acuh pada tarian angin. Kosong. Jalan panjang sejauh pandang, tersayat kenyataan berbalut harapan. Memang mebingungkan, begitulah maunya dunia ini. Dan kita manusia, terlihat sibuk menimang-nimang kebaikan dan keburukan.

Hujan Yang Tak Kunjung Berkesudahan.

Selubung kelabu perlahan menyelusup celah-celah dinding kalbu. Lembut usapan angin nan mendayu-dayu. Ditutupnya jendela, tempat anak-anak tanya liar berterbangan. Atapun selimut itu; pelarian diri dari bayang-bayang. Hangatnya yang tak pernah terbalaskan malam. Lalu disandarkannya raga pada dinginnya dinding. Kian menggigil. Nada-nada sendu memeluk erat,  enggan melepaskan. Di antara suka dan duka, di antara harap dan nyata menekur tertinggalkan waktu. Pikiran dan perasaan telah menjadi tambahan beban, menghisap segala dari tubuh. Hari telah malam dan lampu berpancaran di mana-mana. Hanya pikiran diri juga yang tanpa terang. Ruangan ini adalah tempat meneduh --- hujan yang tak kunjung berkesudahan.

Di Ambang Ketidak-mungkinan.

Ah, Bandung; Di dalamnya, hingar-bingar memadati tiap-tiap sudut. Saat langit menjadi biru, saat khayal mengepul merayu-rayu waktu. Berharap keajaiban melengkapinya ---- manusia. Lalu, matahari terbenam di peraduannya. Menenggalamkan tetes keringat lara. "Kembalikan senja kami!"  teriak anak kecil sambil merengek-rengek. Seiring bertambahnya usia, mungkin kita mulai menjadi pelupa. Luput dari benak, di sini, semua diciptakan dengan batas. Dan kita, tak pernah mengerti mengapa tarian nasib tak bergerak seirama. Gumam pertanyaan melengkapi hidup kita. Kita tak akan bisa melewati batas ketidakmungkinan itu, nak.

1/365

Beralaskan matras, perbincangan kami menembus riuhnya gemuruh angin malam. Berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Seliar itu. Semua berada di luar tenda. Semua yang saya maksudkan adalah 5 orang kawan saya, dan saya sendiri yang saat itu memilih berada di ketinggian untuk menikmati pergantian tahun. Sayup-sayup genjrengan gitar dan nyanyian-nyanyian terdengar. Ya, kami memilih untuk berjarak dengan kumpulan-kumpulan lainnya. Terkadang, sepi lebih lihai dalam merayu. Dan lalu.. Sorak-sorai kembang api berterbangan di lapang langit. Dari sini, lampu-lampu kota nampak berseri-seri. Dirayunya kelabu. Selalu menyenangkan menyaksikan gemerlap lampu di antara gelap. Bintang-gemintang malu-malu, bersembunyi di sebalik awan pekat. Terserah, tiap-tiap memiliki caranya masing-masing. Saat itu, semua larut dalam kebahagiaan, mungkin, karena bahagia adalah esensi hidup ini dan hak manusia yang paling asasi. Saya termangu di antara keramaian. Masih saja merasa sepi. Sembari memandangi

Terserah Roda Malam

Lalu, kamu tertegun bersandarkan ragu, mengeluh disela-sela waktu. Dinding-dinding malam beserta lampu jalan adalah jelemaan masa lalu.  Menampik realita; manusia selalu sampai pada titik itu. Kamu yang menunggu datangnya gelap, kamu juga yang terjerembap. Di dalamnya, kamu hanya berpasrah. Terserah, kemana roda malam akan membawamu. Berpegangan erat pada bumi, menunggu datangnya terang. Membawa beban, melintasi malam.

Entahlah.

Rintik hujan pun turun di bawah naungan birunya langit, ataupun dari sebalik hamparan cahaya mentari. Memang seperti itu, tidak semua harus dimengerti. Terkadang, membiarkan ujung jarum terus berdetak adalah pilihan yang baik. Beberapa orang senang menyaksikan siang dilahap malam. Selebihnya memilih asap-asap keluar dari celah bibir. Apa yang membuatmu senang? Entahlah, senyuman itu batas antara harapan dan kenyataan. Di sini, terkaanku selalu begitu, semu. Angannya dialah salah satu. Semua ingin jadi alasan. Lalu, nanar setelahnya. Pun dengan alur pikirmu, nan sulit diterima akal.

Selamat Pagi

Kabut masih menyelimuti kota, Belaiannya lembut; Membuai impian-impian yang terlelap. Di cakrawala, angan-angan berterbangan bersama lantunan do'a. Segelas kopi dituangkan memecah denyut senyap, Melarutkan kegelisahan yang sedari tadi menggerogoti akal pikiran. Di ufuk timur, mentari masih terpejam di pangkuan langit, Selamat pagi, semesta.

Gadis Kecil

Gadis kecil di ujung langit abu-abu. Masih tersenyum, di bawah derasnya rintik hujan. Setegar itu. Lalu bertanya-tanya dalam kegundahan hati; Akankah pelangi datang? 

Teman,

Beberapa orang, mungkin mengartikan teman sebagai seseorang yang selalu bersama-sama dalam suka dan duka. Wadah yang akan menampung berbagai macam cerita yang menetes dari celah bibir kita. Tempat dimana kita tidak perlu berpura-pura berlaga menjadi sosok yang sempurna. Lebih dari semua itu, menurutku teman adalah tempat dimana aku pulang. Kini, biarlah kita saling berkelana; menjelajahi terjalnya jalan kehidupan. Saat raga merasa lelah, beristirahatlah, kita tau kemana langkah harus pulang. Hingga nanti, kita bertemu di puncak kesuksesan, teman.

Sampai, nanti.

Gaduh ini bersemayam disudut akal, Berteriak lantang didalam keheningan hati. Terkadang, memang sulit berdamai dengan kenyataan, Memahami alur garis yang tak pernah bertemu dalam satu titik. Sudahlah, biarkan nasib membuat jalannya sendiri. Kita lah insan; yang ditenangkan oleh takdir. Aku lah penyair; yang mensisipkan harapan disebalik tulisan. Memasangkan sayap pada tiap kata nya,  Lalu menerbangkan nya bersama lantunan do'a di cakrawala. Sampai nanti,  Kelak kita kan bersua kembali.

Mari, menyelam.

Betapa nikmat nya mencandui sunyi, Meski kerap kali menyayat hati. Tak ubah nya pisau belati, kala bayang-bayang mendarat di imaji. Ruangan ini sesak, dipenuhi isi kepala. Kelabu mengusik biru, Memayungi langkah rapuh yang perlahan pulang. Biarkan rembulan terlelap malam ini, Aku ingin menyelami dalam nya gelap.

Ironi,

Dengan mengatas namakan kemeredekaan, Mereka berkicau semaunya. Kenyataan bukanlah sebuah acuan. Bisikkan-bisikkan tertiup angin, Singgahlah di kuping para pendengar. Punggung menyimak dalam senyap. Kemunafikan bersembunyi dibalik raut-raut wajah. Ah, pujian dijadikan kedok cacian. Nampak nista, Kapalmu karam di tengah lautan dosa. Namun dengan lantang memaki semesta. Ironi.

Sekilas,

Pantulan cermin memampang sebuah raga. Seketika, rindu masa sebelum dewasa, Kala dengan leluasa melemparkan canda tawa. Matahari hendak terbenam, Menuntun langkah untuk pulang. Lembar demi lembar terisi tinta, Goresan manis dari beberapa teman nan indah dipandang. Tak pernah luput dari akal pikiran, Kala putih-abu menjadi sebuah kebanggaan.

Yakinilah

Waktu menunjukan pkl 03:52 wib. Beberapa orang masih bergulat dengan hangatnya selimut. Ada juga yang memilih untuk menikmati dinginnya hembusan angin Bandung saat itu. Saya, memilih untuk tetap terjaga, sekedar ingin berbagi cerita dalam dunia maya. Ditemani segelas coklat panas, dan beberapa batang nikotin. Sengaja, agar tak terasa sepi disini. Suara langkah kaki terdengar samar dari sebalik pintu, langkah yang sudah tidak asing lagi ketika adzan subuh pertama hendak berkumandang. Ya, itu adalah suara langkah Ibu. Dengan pola tidur yang teratur, selalu memulai menjalani hari terlebih dahulu dari semua anggota keluarga kecilnya ini. Dimulai dengan membersihkan rumah, menyalakan mesin cuci, lalu merubah beras menjadi nasi adalah beberapa kegiatan Ibu sebelum sang fajar terbangun dari tidurnya. Sedangkan saya, seorang pemuda saat itu hanya terdiam diatas kasur kecil bersama mimpi-mimpinya. Menikmati lantunan lagu dan berdendang pelan mengikuti irama. Bukan, bukan tidak bergu

Engkau,

Engkau masih mendambakan indahnya pelangi, Yang nampak walau hanya sekejap. Enggan berdetuhkan malam, Yang selalu datang diiringi cahaya rembulan.

Terbuai di Rinjani

Menetapkan tekad yang bulat dibawah naungan surya, Mengusir kehadiran ragu dalam dekapan rembulan. Jejak-jejak kecil ditinggalkan, Debu bercengkrama saling beradu. Namun deras-nya tiupan angin kerap kali mengganggu. Keluh kesah berbisik dalam hati yang sunyi. "Jangan menyerah, sebentar lagi". Ucap kawan mencoba terus meyakinkan langkah. Hembusan nafas saling berlomba, degup jantung terasa lebih cepat. Sembari menyandarkan diri disebuah batu, kepala-ku tengadah memandang biru-nya semesta. Lalu kembali berjalan... Siang berganti malam, Matahari diselingi bulan, Terang dilahap gelap. Hari ke-3, terasa cukup melelahkan. Keringat sudah banyak terkuras, setiap tetesnya tersapu debu. Namun semangat tak pernah surut, Terus berjalan... Hingga akhir-nya tiba di sebuah tujuan, Pelawangan sembalun. Satu langkah sebelum mendaki puncak. Tampak danau segara anak terpampang jelas dari sini. Memandang lurus senandung awan. Bercengkrama dengan nyaman, Meng

"overthinking"

"Aaahhhh" Sembari menggeliat, dengan mata yang sayup terpaksa harus terbangun dari tempat tidur. Saat itu waktu menunjukan dini hari. Beberapa orang mungkin sudah mengembara di alam mimpi-nya. Beberapa orang mungkin juga masih memilih untuk menikmati dingin-nya angin malam. Saya, harus terbangun dari tidur singkat seusai lelah menjalani rutinitas. Setelah mengambil segelas air, dan beberapa cemilan untuk mengganjal perut, Saya memutuskan untuk mengisi kegabutan( ga ada kerjaan) dengan menulis. Kali ini, rutinitas terasa tak bersahabat. Letih, lelah, lesu, diiringi jenuh adalah hiasan yang mengiringi rutinitas-ku. Semangat selalu tertinggal dirumah, luput dari daftar bawaan. Ditambah hujan yang sedang gencar membasahi tanah kota. "Semester 6, memang menjadi puncak kejenuhan di lingkungan perkuliahan". Setidak-nya itu lah jawaban beberapa teman-ku yang juga setuju dengan apa yang aku ucapkan. Memang, terdengar seperti pemalas mungkin. Atau lela

mengapa?

Kamu tak perlu memahami apa-apa, Disini, kepastian seutuhnya milik kematian. Selebihnya hanya bualan belaka. Bahkan perdamaian pun masih mencari-cari makna. Kekal; pintamu pada waktu. Sembari ragu mengangkat dagu. Lantas berjemawa sebagai jawara. Mengapa bimbang mengarungi gelombang?.

aku,

Aku adalah selembar daun pisang. Yang kau petik untuk berteduh dari tetesan air hujan. Lalu, kau menari-nari selepasnya reda,  Lemparkan selembar daun pisang yang melayang jatuh ke tanah basah. Terombang-ambing angin, Terhanyut derasnya air menunggu sampai di ketepian. Mencium harumnya lengkungan cahaya pelangi. Aku, selembar daun pisang.

diantara sadar

Malam menggeram, Desau angin yang ringkih menyandarkan denyut nadi, Langkah kaki samar terdengar. Gelap kian menggumam, mengusik hening. Memungut kata dalam senyap, Rembulan pun hanya mengintip dibalik awan pekat. Sunyi, janganlah kau memaki. Disini, kita mencari-cari sebuah arti. Mata, hendaklah kau terpejam. Di ladang imajinasi sudah lelah berlari-lari. Biarkan, raga enggan menopang diri. Letakkan tangguhmu, bersiaplah menyambut kembali mentari.

Pulau Padar.

Setelah puas berjalan-jalan di Pulau Rinca, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Padar.  Menurut saya, ini adalah pulau yang paling "keren" yang saya kunjungi. Bila kalian tak percaya, cobalah tengok langsung kesana, mungkin kalian akan berpendapat sama seperti saya. Kita akan menikmati sunset disana. Dan kapal kembali berlayar... Pulau Padar  tak dihuni oleh komodo, oleh karena itu kita tidak perlu cemas untuk menghabiskan waktu disana. Setibanya kapal disana, 11 petualang kembali melangkahkan kaki nya. Kami terperanga melihat keindahan pulau tersebut. Itu terlihat jelas dari raut-raut wajah masing-masing. Untuk melihat keindahan pulau ini dengan jelas, kita diharuskan melakukan pendakian ke puncak nya yang harus ditempuh kurang lebih selama 20 menit. Tak seberapa, kita tak gentar. Sesampainya di puncak, tak ada sesal meneteskan keringat. Ada 3-4 pulau disekelilingnya, ditambah dengan hamparan laus yang begitu luas. Yang sangat menakjubkan adalah menyaksikan matahari ter

Dimulai darisini, Pulau Rinca.

2 hari 1 malam adalah waktu yang akan kita habiskan dengan berkeliling pulau-pulau yang berada disekitaran Labuan Bajo. Baiklah, mari kita mulai...   Pagi hari, kita sudah bersiap-siap mengemas perlengkapan masing-masing dan tidak sabar menengok keindahan Indonesia timur ini. Kita sudah sampai di pelabuhan saat itu, tempat berlabuh para perahu dan juga tempat kita akan memulai salah satu perjalanan yang tidak akan terlupakan. Perahu yang telah kita sewa sudah tiba, satu persatu dari kita memasuki perahu tersebut. Perahu yang tidak terlalu besar, namun sangat cukup untuk menampung 11 petualang yang ada, ditambah dengan 2 orang penghuni perahu tersebut yang berarti total menjadi 13 orang. Kami berunding terlebih dahulu dengan nahkoda, mengutarakan tujuan-tujuan yang telah kami persiapkan. Setelah berunding akhirnya kami setuju dengan tujuan yang telah dipersiapkan ditambah dengan rekomendasi dari nahkoda itu. Adapun tujuan yang akan kita kunjungi adalah Pulau Rinca, Pulau Padar, Pu

Hari Kedua di Labuan Bajo

Matahari telah terbit, mengetuk mata untuk mengakhiri mimpi. Mengajak raga menikmati dunia nyata, bercengkrama dengan semeseta. Nikmatilah.. Hari ini, kita berencana mengunjungi salah satu keindahalan alam yang ada di Labuan Bajo. Singkat cerita.......................... Kita berangkat menuju lokasi tersebut dengan menggunakan angkutan umum yang telah dipesan. Bersama supir angkot kepercayaan Om Heri, kita menikmati indahnya perjalanan karena keindahan disekitarnya. Bukit Cinta. Nama dari lokasi yang akan kita tuju. Membuat greget memang, penasaran dengan lokasi yang mengatas namakan cinta tersebut. Nama Bukit Cinta diberikan karena tempat ini memang merupakan spot yang tepat untuk pengunjung memadu kasih dan memang banyak pasangan muda-mudi yang menghabiskan waktu di bukit ini pada malam harinya. Perjalanan menuju Bukit Cinta cenderung berbukit-bukit, gersang dan sedikit penuh dengan debu dikarenakan sedang ada pembangunan jalan dan pemangkasan bukit dalam rangka perluas

Hari Pertama di Labuan Bajo

Setelah kurang lebih menghabiskan waktu 3 hari di perjalanan, kenyang betul mengenyam pemandangan darat dan laut, akhirnya kapal menepi di tepian Labuan Bajo. Labuan Bajo ini merupakan pelabuhan kecil yang dijadikan tempat singgah ketika akan bertandang ke pulau komodo.  Kapal telah berhenti. Kami secara beruntun meninggalkan kapal dan segera menghirup udara diluar. Orang-orang sibuk mengurusi barang dagangannya, seperti di pelabuhan lainnya. Kami memilih untuk beristirahat disekitaran pelabuhan sebari menikmati pemandangan yang disuguhkan labuan bajo. Langkahku telah berpijak di ujung barat Flores, di wilayah Nusa Tenggara dari timur Indonesia   . "Malu bertanya, sesat dijalan" kira-kira begitulah kutipan dari pepatah yang pernah kita dengar. Ya, memang sangat benar. Karena ketika kita tidak malu untuk bertanya, maka kita akan mendapatkan informasi baru. Sebelum sampai di Labuan Bajo, kami menaiki kapal untuk menyebrang dari Pelabuhan Sape(=pelabuhan di kab.Bima, NT

tunggu disana, Yog!

  Entahlah, apa yang membuat kota yang satu ini begitu memikat hati. Bukan dengan Candi Borobudur nya, ataupun dengan objek-objek wisata lainnya yang ada disini. Yogyakarta, Memiliki daya tarik tersendiri bagi saya pribadi. Sejak pertama kali menginjakkan kaki disini, Rasa nya ingin sekali untuk mampir kembali. Bila saat nya tiba, Akan kubawa seluruh niatku beserta cinta di dalamnya. Ku tuntun langkahku untuk menetap. Menikmati hari tua, dalam balutan kebahagiaan. Disini.

selamat pagi

Mentari datang kembali. Membagi cahaya pada luasnya hamparan bumi. Tatkala embun pagi bersembunyi, Burung-burung dengan lantangnya bernyanyi. Aku, masih disini. Dibalik sebuah dinding dan ditemani segelas kopi. Ada sebuah bayangan yang melintasi imajinasi. Mengingatmu membuatku berseri-seri. Ucapku, selamat pagi.

marilah, kawan.

Marilah, Nikmati secangkir kopi panas bersama. Baluti saja dengan cerita, seperti biasa. Biarkan lantunan nada merangkak perlahan, diantara desau angin malam. Tertawalah, hiraukan dunia maya. Bukankah kita sudah sepakat? Kita tak mengenal perbedaan. Sejenak, acuhkan saja semua urusan. Alirkan canda dalam sebuah cacian. Ceritakan lagi tentang impian-impian. Disini, kawan.

titipan manis dariku, untukmu.

Saat itu, aku berpijak di 3726 mdpl. Kupegang selembar kertas, dengan beberapa huruf yang tersusun merangkai beberapa kalimat. Selamat ulang tahun, wanita hebat yang biasa kupanggil dengan sebutan Ibu. Walau hanya selembar kertas, tapi percayalah kutulis ini dengan hati yang ikhlas. Do'a ku lebih tinggi dari tempat dimana aku berpijak. Lebih indah dari pemandangan yang kupandang. Tak ada yang menghalangi, hanya ada gumpalan awan yang terbentang di langit biru yang begitu luas. Takkan cukup selembar kertas itu menampung seluruh do'aku untukmu, Ibu. Ku titipkan do'a pada hembusan angin yang bertiup kencang. Semua yang terbaik untukmu, pasti ku selipkan di setiap do'a ku. Semoga kita bisa hidup selamanya, bersama-sama.

28 Desember

19 tahun lalu, Senyuman menghiasi wajah kedua orang tua ku pada tanggal ini. Tak terasa, hampir berkepala dua. Ah, tak ingin sebenarnya pergi menua. Raga yang membaluti jiwa tak bisa berdusta. Entah sampai kapan hembusan nafas ini masih terasa. Terimakasih, Tuhan. Dibalik kata Alhamdulillah, ada rasa syukurku yang begitu dalam. Semua do'a yang mereka curahkan padaku, tolong kabulkanlah. Jadikan hamba manusia yang lebih baik, Tuhan.

Menengok atap pulau Jawa

Sebelum memulai rutinitas baru sebagai maba(=mahasiswa baru), saya beserta 8 rekan saya lainnya sepakat untuk melakukan perjalanan menuju Jawa Timur tepatnya menuju Kabupaten Malang. Dimulai dari tempat kita tinggal, Bandung. Setelah menetapkan tanggal keberangkatan, kita lantas membeli tiket kereta Malabar yang berjurusan Bandung-Malang. Semua tiket sudah terkumpul dan saya menjadi pemegang tiket tersebut sampai hari H tiba. Sampailah kita pada hari H . Jam keberangkatan kereta ditetapkan pada pukul 16:00. Terbangun pada pukul 08:00 saya lantas berkemas melengkapi perlengkapan yang sudah dipersiapkan seblumnya. Karena berstatus sebagai calon mahasiswa baru, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan di kampus sebelum keberangkatan menuju Malang. Bertemu teman, membuat surat sakit, dan bertemu dengan saudara adalah hal lainnya yang harus saya selesaikan. Alhasil, keteledoran mengatur waktu membuat saya terlambat sampai ke stasiun. Saya datang melebihi jam keberangkatan k